Selasa, 28 Juni 2011

Merunut Jejak ke Hulu 1

Kisah Sebuah Sungai

Berabad jarak darimu ya, Rasul
Serasa dikau di sini….
—Taufik Ismail—

        Sebuah sungai kecil muncul dari mata air di celah bebatuan. Setelah mengalir selama berabad-abad dan menempuh jarak ribuan kilometer, ia pun semakin membesar, membentang, dan semakin dalam. Ia juga telah  bercabang di berbagai titik membentuk anak su­ngai yang jumlahnya kini mencapai ribuan: anak-anak sungai yang berjalin-berkelindan membentuk labirin yang rumit. Dalam perjalanannya, air yang mengalir dari hulu ke hilir itu telah menampung berbagai unsur yang tercebur ke dalamnya—baik yang dengan sengaja diceburkan, maupun yang karena proses alamiah. Maka, terlarut dan terhanyutlah unsur-unsur itu ke arah muara. Mulai dari dedaunan kering yang gugur, tanah tepian yang tergerus, hewan yang mati, sampah dan limbah yang dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan dimasukkan, hingga kotoran dan daki manusia yang mandi di dalamnya. Semuanya terseret ke arah hilir sungai utama, juga menyebar ke anak-anak sungainya. Sebagiannya ada yang tersangkut di akar pohon, dipungut pemulung, atau dibersihkan pejuang lingkungan, sehingga tidak mencapai ujung-ujung muara. Namun, bagian yang terseret hingga muara sungai-sungai itu telah membuat air jernih menyehatkan yang keluar dari sumbernya dulu kini berubah bentuk, rupa, dan rasa. Sebuah perubahan kuantitas dan kualitas telah terjadi.
        Selama berabad-abad alirannya, telah milyaran manusia memuaskan dahaga hidup dengan meminum air dari sungai itu. Ada yang langsung meminumnya saja karena demikianlah yang dilakukan orang tua mereka sejak lahir, ada yang berhati-hati dengan memilih bagian ceruk tertentu yang airnya agak jernih, ada yang berusaha sebisanya membuat penyulingan untuk memurnikannya, ada yang mencampurkan bahan kimia tertentu dan memberinya rasa dan aroma berbeda, ada yang sesekali mengambil air di sungai lain, ada juga yang samasekali meninggalkannya karena tertarik kepada sungai lain yang menurutnya lebih menyehatkan. Namun, sebagian besar orang yang dahaga tidak peduli lagi pada keruhnya air sungai suci itu—betapapun keruhnya, ia tetap suci dan menyucikan. Terlebih lagi, mereka memang tak punya pilihan. Berusaha membuat penyulingan sederhana pun kerap mereka dilarang. Berusaha mencari sungai lain atau bahkan berpindah sungai akan menimbulkan konsekuensi sosial yang tidak ringan serta hujatan dari segenap masyarakatnya karena dianggap telah ingkar dari budaya para leluhur yang telah selama berabad-abad hidup menenggak air dari sungai itu.
        Fakta bahwa selama berabad-abad sungai itu telah memuaskan dahaga milyaran manusia membuat banyak orang, sepanjang sejarah­nya, berusaha mengklaim sungai itu sebagai miliknya. Sebagian dari mereka merasa bahwa hanya merekalah yang berhak mengambil air dari sungai itu dan orang-orang lain hanya boleh mengambil melalui mereka. Ada yang memang memberikannya dengan cuma-cuma; ada juga yang menetapkan harga tertentu dengan terang-terangan; sebagian besarnya justru meminta imbalan dengan ditutupi dalih ber­bagai alasan agar terkesan suci.
        Selain yang menjual airnya, ada juga sebagian yang menggunakan kekuasaannya memagari sungai itu dan melarang orang untuk menghampiri atau mengambil air di sana, sambil sekaligus juga melarang orang menimba dari sungai lain. Mereka membuat peraturan-peraturan tertentu tentang siapa yang boleh mengambil air langsung dan siapa yang harus membeli dari me­reka. Dan bila seseorang ingin mengambil air langsung di sungai itu, dia harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang sangat berat dan kecil kemungkinan bisa dipenuhinya. Maka, di tempat-tempat itu, sungai itu pun dikuasai, dibentuk-bentuk, dibelak-belokkan, diberi warna juga aroma sesuai kebutuhan dan selera, lalu dijual dengan harga tertentu oleh segelintir orang.
        Tentu saja, berbagai manuver untuk mengangkangi sungai itu se­bagai hak sendiri pada gilirannya telah mengelompokkan para dahagawan/dahagawati itu ke dalam golongan-golongan. Ada yang mendukung upaya agar sungai itu tetap terbuka bagi siapa saja, ada yang mendukung ditetapkannya syarat-syarat tertentu, ada juga yang mendukung usaha menguasai dengan dalih menjaga kesuciannya. Tak ayal lagi, beragam manuver dan dukungan  itu telah menimbulkan berbagai kesenjangan pemahaman—juga kesenjangan politis dan sosial. Ribuan pertumpahan darah telah turut menyemaraki timbul tenggelamnya aliran di sungai itu. Tak mengherankan, karena sungai itu memang telah menjadi bagian hidup paling utama bagi satu setengah milyar manusia. Setiap orang yang bergantung hidup kepada airnya, sedikit banyak tentu berkepentingan untuk berusaha membuatnya tetap tersedia bagi semua kalangan—karena memang demikianlah sifat alami sebuah sungai. Strata sosial-ekonomi yang gurem, tingkat pendidikan yang rendah, kadar pengetahuan yang minim, bukanlah alasan untuk mendiskreditkan seseorang dari haknya untuk turut menimba dan menikmati air sungai tersebut, langsung dari aliran arusnya. Akan tetapi, demikianlah adanya: suka atau tidak, sungai itu kini diklaim oleh berbagai kalangan tertentu yang—karena kecerdikan atau kekuasaannya—merasa paling berhak atas kepemilikannya.
        Di hulu sungai itulah, belasan abad yang lalu, seorang lelaki sederhana menemukan sumber hidupnya. Dialah sosok yang tak mungkin dilepaskan dari sumber sungai yang dalam waktu singkat telah merebak ke seantero dunia itu. Namanya telah ditiru jutaan orang dan masih akan ditiru lagi sampai entah kapan. Perangainya menimbulkan rindu pada mereka yang dengan tulus mencintainya. Keteguhan dan kesabarannya membangkitkan rasa hormat dari kawan dan lawan.
        Mulanya, kabar tentang sumber air yang ia sampaikan dicemooh orang. Bukan hanya oleh masyarakatnya yang memang tidak terbiasa meminum air jernih, melainkan juga oleh masyarakat lain yang yakin bahwa tak mungkin ditemukan mata air di wilayah tandus tanpa sungai itu. Mereka menolak ajakannya untuk bersama-sama meminum air dari sumber yang ditemukannya. Penolakan itu, tentunya, bukan hanya disebabkan faktor kebiasaan mereka meminum air cemar di dunia mereka yang kering kerontang itu. Berbagai pertimbangan ekonomis, politis, hingga adat leluhur telah membuat mereka menutup mata akan manfaat air jernih yang disodorkan.
        Seperti juga yang terjadi di zaman modern, tampaknya pertimbangan ekonomis dan politislah yang menjadi dorongan paling kuat bagi penghinaan dan penolakan. Karenanya, ketika jumlah mereka yang ingin meminum dari air jernih itu semakin meningkat, mulailah me­reka yang berkuasa melakukan intimidasi didasari kekhawatiran akan munculnya orang yang setara atau lebih berkuasa daripada mereka. Ia tak hendak dibiarkan. Jika semakin banyak saja orang yang tertarik untuk meminum air jernih yang dibawanya, apalah nasib budaya meminum air keruh yang diturunkan dari nenek moyang, yang selama ini telah dengan gegap gempita mereka pertahankan?
        Namun, tak sesiapa pun bisa membendung apa yang telah menjadi ketetapan. Melalui segala kesedihan, nyeri, dan penghinaan, ia terus bertahan menembus ruang dan waktu yang terasa semakin sempit. Ia pun terusir dari bumi kelahirannya, tetapi disambut mereka yang bersimpati kepadanya. Hingga, pada akhirnya, jayalah pekabaran akan mata air kehidupan yang ia serukan.
        Sayangnya, fons vitae yang dulu ia temukan itu, kini telah menjadi ribuan batang sungai yang sulit diurai ujung-pangkalnya. Berbagai cara merunut jejak ke arah hulu telah diusahakan. Berbagai upaya penyulingan telah dikembangkan. Bermacam argumentasi dan persengketaan juga telah muncul untuk menjustifikasi pilihan cara dan upaya yang diajukan. Pilihan aliran sungai telah memecah belah, padahal tak semua sungai itu berakhir di muara—sebagiannya berputar kembali ke arah tubuhnya sendiri. Tiap-tiap batang sungai dialiri “kebenaran”. Mereka yang berkuasa menuangkan “kebenaran” versi mereka. Mereka yang kalah, membuat anak sungai lagi dan menuangkan “kebenaran” versi mereka sendiri ke dalam sungai itu. Masing-masing dengan pendukungnya yang setia sampai mati. “Kebenaran” pun menjadi ribuan versi, sesuai dengan jumlah sungai yang silang sengkarut itu. Masing-masing “kebenaran” itu juga diperdagangkan, ditawar-tawarkan, bahkan kalau bisa dipaksakan kepada siapa saja yang berada di luar “sungai kita”. Diktumnya sederhana: “mereka yang tidak meminum dari sungai kita adalah musuh yang halal harta dan jiwanya”. Maka, berbagai alasan dicari, dalil dikutip dari sana-sini, dicocok-cocokkan dengan format “kebenaran” yang diyakini.
        Merunut jejak ke hulu sungai induk menjadi pekerjaan yang nyaris mustahil bagi seorang manusia. Berjalan ke arah hulu seperti memasuki tapal batas teritorial para penguasa sungai dan terjebak dalam wilayah sengketa—harus pandai berdialog, berdiplomasi, dan berkelit agar tak celaka. Belum lagi keharusan bersabar menengarai mana anak sungai yang benar-benar menuju hulu, mana yang cuma berputar-putar saja ke arah anak-anak sungai yang lainnya. Itu pun belum cukup. Beberapa bagian sungai ternyata telah dikavling-kavling oleh sekelompok kalangan yang tidak bisa mentolerir perbedaan. Dialog dengan kalangan ini cuma pemanis bibir. Kata akhir sudah dipastikan sejak awal: merekalah yang paling benar dan siapa pun yang berbeda harus dienyahkan—seolah-olah mereka sudah mendapat hak kuasa penuh atas kavling sungai yang mereka kukuhi itu, atau bahkan hak kuasa penuh atas keseluruhan sungai dari hulu hingga hilirnya!
        Akan tetapi, cinta yang membara menuntut agar perjalanan merunut sungai ke arah hulu tetap perlu dilaksanakan. Inilah catatan awal perjalanan itu….

Bakung, Balaraja
12 Juni 2010

Inzan Rumazha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN