Rabu, 29 Juni 2011

Kekayaan Bahasa Daerah

Bahasa adalah ungkapan verbal kemampuan manusia mencerap lingkungannya yang dia yakini sebagai realitas. Kekayaan atau kemiskinan kosakata sebuah masyarakat menandai juga seberapa kaya atau miskinnya kemampuan masyarakat tersebut mempersepsi lingkungannya dan menuangkannya dalam ungkapan verbal. Ambil contoh tentang hujan, misalnya. Dalam bahasa Indonesia baku, kita hanya mengenal kata “hujan” dan “gerimis”. Itulah persepsi tentang “butiran air yang turun dari langit” yang mampu dicerap oleh masyarakat Indonesia melalui bahasa yang pada mulanya diturunkan dari budaya Melayu itu. Pada masyarakat kebudayaan lain, kita bisa menemukan spektrum persepsi tentang hujan yang lebih merentang. Dalam bahasa Jawa, kita menemukan kremun, tlethik, gremis, udan, prahara, dan lesus.[1] Sedangkan dalam bahasa Sunda (Cangkudu, Balaraja, Banten), kita mendapati murubuy, gurimis, hujan, plas-plis, ngarincik, dan ngebrét.
        Dari enam kata dalam kosakata bahasa Sunda di atas, hanya kata hujan, gurimis, dan ngarincik yang bisa penulis temukan padanannya dalam kamus bahasa Indonesia. Hujan, jelas, merupakan padanan “hujan”, gurimis adalah padanan “gerimis”, dan ngarincik kira-kira sepadan dengan “hujan berjujuh/menjujuh”; sedangkan murubuy, plas-plis, dan ngebrét tidak penulis temukan padanannya. Murubuy (≍kremun) adalah turunnya butiran air yang sangat halus menyerupai embun atau kabut dan tidak membuat basah karena biasanya hilang tertiup angin—ada yang menyebutnya gerimis halus. Plas-plis (≍tlethik) adalah butiran air besar-besar yang turun jarang-jarang, biasanya mendahului hujan lebat yang tiba-tiba. Ngarincik (“hujan berjujuh/menjujuh”) adalah hujan sedang yang berterusan untuk waktu yang lama. Sedangkan ngebrét adalah hujan deras yang berterusan, biasanya disertai angin kencang.
        Selain kosakata di atas, dikenal juga istilah hujan ngajuru maung (“hujan macan melahirkan”), yaitu hujan yang terjadi sementara matahari sedang terik—orang Jakarta menyebutnya ujan orang mati. Penulis sendiri tidak berhasil menemukan alasan munculnya istilah tersebut—apa hubungannya dengan maung ngajuru (“macan melahirkan”), tetapi jelas itu menunjukkan betapa masyarakat lokal sangat kreatif dalam mempersepsi fenomena alam di sekitarnya lalu menuangkannya ke dalam ungkapan verbal. Ini hanya salah satu contoh fenomena alam yang dipersepsi dengan spektrum yang lebih merentang daripada yang mampu diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Penulis yakin masih banyak fenomena lain yang bisa membuktikan bahwa kosakata bahasa daerah jauh lebih kaya dalam mempersepsi realitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN