Rabu, 29 Juni 2011

Masyarakat Skizofrenik dan Pemiskinan Persepsi

      Berbagai budaya instan itu semakin mendapat peluang ketika perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi modernisme, industrialisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan dampak besar kepada kehidupan masyarakat. Salah satu masalah utama dalam sebuah masyarakat modern adalah timbulnya disintegrasi dari masyarakat tradisional dengan kecepatan perubahan yang berbeda di antara berbagai unsurnya. Kesenjangan kecepatan ini kerap dimenangi oleh hal-hal yang bersifat konkret-material ketimbang yang psikis-intelektual. Bagi sebuah masyarakat peralihan sebagaimana sebagian besar masyarakat di Indonesia, kondisi ini bisa digambarkan seperti “tubuh sudah melaju di dalam Mercy, kepala masih tertinggal di pedati”. Kemajuan material tidak diiringi dengan kemajuan intelektual.
        Perubahan-perubahan tersebut telah memengaruhi nilai kehidupan masyarakat. Tentunya, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, yang pada gilirannya bisa saja menimbulkan ketegangan atau depresi pada dirinya. Kehidupan urban dengan pola berpacu sambil berlomba memperagakan kekuasaan serta kekayaan telah menyebabkan munculnya rasa cemburu, iri, takut, dan cemas pada masyarakatnya. Dalam masyarakat seperti itu, banyak anggotanya akan merasa tidak aman, kesepian, panik, dan ketakutan yang, pada gilirannya, akan mengganggu keseimbangan jiwanya.[3] Masyarakat modern yang selalu memburu keuntungan komersial dan sangat individualistis itu dipenuhi persaingan dan banyak mengandung unsur-unsur ekploitatif. Persaingan dan pamer materi itu kemudian memacu banyak orang untuk tak lagi berpegang kepada nilai-nilai luhur yang harus ditempuh melalui ketahanan akan proses dan cenderung mencurahkan daya-upayanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang dapat dicapai secara instan.
        Dalam bidang psikologi, dikenal istilah skizofrenia, sebuah “penyakit” mental yang ditandai dengan hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, dan sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) atau halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).[4] Dalam literatur populer, gejala ini sering disalahanggapi sebagai split-personality, “kepribadian terbelah” (karena istilah ini berasal dari bahasa Yunani: skhizein, “membelah”, dan phrēn, “pikiran”). Namun, justru dalam makna populernya inilah gejala ini bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat modern. Respons emosional menjadi irasional, hubungan antarpribadi sering menjadi sekadar basa-basi yang dibangun dalam jejaring sosial di dunia maya, sementara persepsi mereka akan realitas dimiskinkan dengan mengikuti apa yang disuguhkan oleh media massa. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi juga secara drastis mencampuradukkan antara yang imajinatif dan yang riil, antara masa lalu, sekarang, dan masa depan, hingga tak lagi dapat dibedakan. Persis skizofrenia atau, tepatnya, skizofrenia budaya.[5]
        Media massa, televisi khususnya, dengan gencar merangsang orang untuk mengejar standar kehidupan yang didasarkan pada kemewahan material—dan, kalau bisa, dicapai secara instan sebagaimana mereka lihat di kuis-kuis—sehingga banyak orang terpukau dengan kemilau yang ditawarkan modernisasi dan menyangka bahwa modernisasi bisa dengan sekejap membawa mereka kepada kesejahteraan. Mereka lupa bahwa di balik wajah modernisasi yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan “the agony of modernization”, kesengsaraan karena modernisasi.[6]
        Masyarakat yang skizofrenik itu kemudian juga dipasangi kacamata kuda sehingga hanya bisa melihat ke depan, ke arah yang disajikan oleh para “penguasa”. Layak dicatat bahwa para penguasa di sini lebih tepat dimaksudkan sebagai para penguasa media ketimbang para penguasa politik—bahkan para penguasa politik itu pun berlomba-lomba tunduk kepada kekuatan media massa sebagai corong untuk memengaruhi publik. Maka, tertayangkanlah berbagai persepsi siap-saji sebagaimana telah diseleksi oleh para penguasa media. Pada saat yang sama, terjadi pemiskinan pilihan persepsi karena yang kemudian terjadi adalah demikian banyak saluran komunikasi, tetapi hanya sedikit yang dikomunikasikan. Dapat dipastikan bahwa puluhan saluran komunikasi yang tersedia bagi masyarakat selalu berjalan searah (dari penguasa media massa ke arah publik) dengan ragam data yang terbatas. Jika satu saluran menyiarkan sebuah peristiwa yang cenderung menarik minat masyarakat, maka saluran-saluran yang lain akan menyiarkan peristiwa yang sama sehingga saluran komunikasi mana pun yang kita datangi, isinya akan sama saja. Parahnya, pemiskinan persepsi ini terjadi setiap hari ketika sekian ratus juta masyarakat Indonesia dalam sehari hanya membincangkan sedikit persoalan yang ramai diberitakan media massa—yang sering kali samasekali tidak berhubungan dengan kebutuhan nyata hidup mereka sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN