Rabu, 29 Juni 2011

Keragaman Persepsi dan Tindakan

  Penuangan persepsi ke dalam ungkapan verbal merupakan aktivitas manusia dalam memberikan makna kepada kejadian-kejadian dan segala sesuatu di lingkungannya. Namun, lebih daripada sekadar ungkapan verbal, persepsi juga menunjukkan bagaimana kita bertindak terhadap sesuatu yang kita persepsi tersebut.[2] Kembali kepada contoh tentang hujan, jika hujan turun dari langit, sebagian orang mungkin akan mencari tempat berteduh, sementara sebagian yang lain mungkin justru menikmati bermain-main di bawah hujan. Persepsi mereka tentang apa yang terjadi berbeda sebagaimana tercermin dalam kenyataan bahwa mereka melakukan hal yang berbeda dalam kejadian yang sama. Kenyataan bahwa kedua kelompok di atas setuju pada kalimat “Sekarang sedang hujan” tidak berarti bahwa mereka melihat kejadian tersebut dengan cara yang sama.
        Keragaman persepsi ini sebanding dengan pola hidup dan pola pikir sang perseptor (pengamat). Seorang anak mungkin mempersepsi “hujan” sebagai peristiwa yang menyenangkan buat berhujan-hujanan; banyak orangtua justru mempersepsi “hujan” sebagai peristiwa yang bisa membuat anak-anak sakit. Orang yang tinggal di wilayah rawan banjir mungkin mempersepsi “hujan” sebagai bahaya yang bisa mengancam keselamatan mereka, sementara petani yang sawahnya kekeringan justru mempersepsi “hujan” sebagai berkah yang bisa menyuburkan kembali tanah mereka untuk digarap. Padahal, hujan, ya hujan—apa pun persepsi manusia tentang peristiwa itu. Jadi, dua orang bisa memandang sebuah kejadian yang sama, tetapi melihatnya dengan persepsi yang berbeda sesuai dengan latar belakang, sudut pandang, dan kepentingannya masing-masing. Ini juga membuktikan bahwa manusia secara aktif membuat makna atas “realitas” yang dipersepsinya, bukan sekadar agen pasif yang menerima atau mencerminkan makna sebagaimana dipercaya melekat dalam “realitas” itu sendiri.
        Hal ini mengingatkan penulis kepada bagaimana nenek-moyang bangsa ini mungkin telah memperlakukan hujan sebagai semacam “ancaman” sebagaimana terungkap dalam peribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Dugaan penulis, kemungkinan besar peribahasa ini lahir dari masyarakat urban atau, mungkin juga, dari kalangan priyayi. Sebab, jika di kalangan petani, bukan payung yang harus disiapkan ketika hujan turun, melainkan cangkul. Karena, ketika turun hujan, sawah yang mulanya kering akan mendapatkan cukup air sehingga setelah hujan usai tanahnya akan menjadi cukup lunak untuk bisa mulai digarap. Mentalitas masyarakat dengan etos kerja yang berbeda tentu akan melahirkan jenis peribahasa yang berbeda sesuai dengan persepsi mereka tentang realitas.
        Tentu saja, penulis tidak mempermasalahkan makna positif yang terkandung dalam peribahasa “sedia payung sebelum hujan” yang menasihatkan orang untuk mempersiapkan diri atau segala sesuatu untuk mengantisipasi hal-hal (kurang menguntungkan) yang mungkin terjadi di masa datang. Di sini, hanya dibahas tentang kemungkinan masyarakat seperti apa yang telah mempersepsi hujan dengan cara demikian—yang, sekali lagi, menunjukkan betapa kreatifnya manusia dalam mempersepsi fenomena alam sesuai dengan kepentingannya dan berdasarkan pola hidup serta pola pikirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN