Rabu, 29 Juni 2011

Ketika Proses (Hidup) Menjadi Benda (Mati)

  Hal kurang menguntungkan yang terjadi seiring dengan penuangan persepsi ke dalam ungkapan verbal adalah terjadinya proses pembendaan atau pembekuan. Berbagai fenomena yang terjadi sebagai proses dalam rentang waktu menjadi terbekukan sebagai kata benda. Manusia telah membekukan “proses turunnya butiran air dari langit” sebagai hujan (kata benda). Manusia juga telah “membekukan” angin, gelombang, ledakan, hari, pencemaran, pikiran, kesalehan, peribadahan, kehidupan, dan lain-lain, dari proses menjadi benda. Demikianlah, struktur bahasa manusia terus berupaya sepanjang waktu membekukan berbagai proses cukup dengan menyebutnya sebagai (kata) benda. Bahkan, bahasa manusia telah membekukan satu prasayarat mutlak bagi terjadinya proses apa pun, yaitu waktu itu sendiri.
        Hal ini mungkin berkaitan erat dengan kecenderungan manusia untuk merasa lebih aman dan nyaman jika berhadapan sengan sesuatu yang konkret, jelas batasnya, sehingga dapat mereka kuasai. Karena itulah, proses pembendaan itu terjadi. Mereka, melalui bahasanya, seperti tak kenal lelah terus melakukan konkretisasi terhadap berbagai hal yang “mengalir” sehingga banyak sesuatu yang menjadi (becoming) diubah menjadi sekadar sesuatu yang ada (being).
        Kecenderungan konkretisasi ini membuat manusia kehilangan nilai rasa berproses dalam tindakan dan pemikirannya. Mereka menjadi cenderung menghindar dari proses dan ingin bersegera melompat ke arah akhir ketika sesuatu menjadi jelas dan pasti sebagai sesuatu yang beku dan dapat dipahami. Kalau dilihat lebih jauh, kecenderungan ini kemudian mengarahkan manusia kepada kegandrungan akan segala yang bersifat instan (siap-saji). Kita menjadi serba tergesa-gesa dalam melakukan berbagai hal. Dalam kosakata remaja, kita mengenal singkatan GPL (gak paké lama). Ini juga merupakan indikasi akan ketidaktahanan kita menempuh proses, menunggu sesuatu yang memerlukan waktu untuk pemenuhannya. Kecenderungan ini juga yang kemudian dibidik oleh dunia industri penerbitan dengan memunculkan berbagai buku self-help (swabantu) yang menjanjikan berbagai produk instan. Menjadi Kaya dalam Sekejap, Mahir Berbahasa Inggris dalam 24 Jam, atau Jurus 20 Langkah Sukses Berbisnis adalah beberapa contoh judul fiktif yang cukup menggambarkan berbagai terbitan yang dimaksudkan untuk memenuhi kecenderungan instan tersebut.
        Tentu pembaca bisa segera menyimpulkan bahwa budaya suap juga lahir dari ketaksabaran manusia menjalani proses dalam mendapatkan sesuatu—baik yang menyuap, maupun yang menerima/meminta suap. Dan, karena pembekuan (pembakuan) terus mewabah di berbagai bidang kehidupan manusia, beragam budaya instan itu pun (termasuk budaya suap) kemudian menjadi sesuatu yang “baku”, yang memaksa setiap orang untuk mematuhi pakem-pakemnya—kalau tidak ingin terpaksa berpayah-payah menanggung proses yang mungkin tidak jelas juntrungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN