Sabtu, 05 Februari 2011

Sepenggal Amarah pada Kelopak Mawar


Mungkin tak kita sadari benar bahwa
Kita bersinggungan sebagai tangens pada lengkung waktu
Di sebuah titik diferensial, renik, infinitisemal
Namun, telah dengan tak semena-mena kita daulat
Titik itu menjadi ladang persemaian kesumat
Ladang yang membusukkan sekelopak mawar hitam
Yang menggeliat menghadap berkas sinar
Padahal ia sekadar hangatkan sebaris biografi singkat
Yang ditorehkan larik-larik puisi pada seratnya

"Tapi, lihat! Mawar hitam itu berduri pula!"
Maka sebisa-bisa kita kerahkan daya
Agar tak ada sesiapa tergores luka

Sambil menunggang kepongahan yang semakin deras
Kita saling jilat dengan sanjung puji
Saling basuh dengan ludah basi yang terasa suci
Sambil melantunkan deretan kalimat bijak
yang bahkan sebersit pun kita tak pernah sadari
Angin mana yang telah menjejalkannya ke mulut kita

Ah, beda antara "benar" dan "betul" saja kita tak tahu
Apatah lagi memilah "benar" dari "salah"?
Mengapa pula berkeras mencemari udara dengan kata?

Maka, kita biarkan wamar hitam itu
Meringkuk sendiri berselimutkan "kesalahan"
Sebab ia memang tak pernah berminat masuki
Wilayah kesadaran kita yang kian susut

Sebelum senja tiba
Masih sempat kita rancang
Kosa kata baru dengan riang:
"Hitam" dan "duri" sepadan dengan "salah"
"Kepengecutan" sinonim dengan "kesantunan"
"Persekongkolan" sama dengan "persahabatan"
"Menghakimi" adalah "membela" dan "melindungi"
Dan "mencintai" berarti "menguasai"
Memang belum cukup untuk dihimpun menjadi kitab suci
Tetapi memadai untuk menggeser segala keburukan
Ke arah mereka yang kita benci

Namun, ternyata, ada sekepak kekupu yang jatuh iba
Kepada hitam mawar yang tak tembus cahaya itu
Meski tak ada nektar di kuntum kelopaknya
Meski harumnya telah diuapkan cuaca
Meski merahnya telah dihitamkan usia
Meski jika ia berkata, yang keluar adalah serapah
Meski jika ia bicara, nadanya serupa hardikan
Tak ayal, semua itu direngkuhnya begitu saja
Sebagai bagian dari keutuhan cintanya
Karena cinta selalu menafikan yang selainnya

Justru itulah yang kita tak mengerti
Mengapa cinta dan iba harus pula ditujukan
Kepada seonggok mawar yang hitam dan berduri?
Bukankah kekupu itu bisa dengan mudahnya
Terbang mencari bunga lain yang aman dan berseri?
Kebodohankah itu? Ataukah kegilaan?
Kita tak akan pernah mengerti
Karena "bodoh" atau "gila" disebabkan cinta
Atasnama kecongkakan dan dengan berbagai alasan
T'lah kita tolak 'tuk rasuki jantung kita

Tapi, ah, sudahlah.
Jangan membenci lagi, "Perempuan"
Dalam tempurung dunia kita yang pengap
Kebencian mestinya amat menyesakkan....




Inzan Rumazha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan luapkan komentarmu BEBAS TAPI SOPAN