Sabtu, 08 Oktober 2011

AKHIR (?)

Death is not the end
Death can never be the end.

Death is the road.
Life is the traveller.
The Soul is the Guide
- Sri Chinmoy

Adakah yang lebih misterius dari kematian
Sebab yang tak terduga
Saat yang tak terencana

Adakah yang lebih menakutkan dari kematian
Renyah dosa dunia lebih nikmat disantap
Langkahlangkah teratur menuju pekat dan gelap
Lalu ketika telah menyatu tanah
Hanya kosong yang diajukan dengan resah

 Adakah yang lebih mengurai tanya dari kematian
Kekhawatiran atau kepasrahan
Menjumpa manusiamanusia yang begerak dewasa dan tua
Sedang yang muda
Belum tentu akan mengalami seperti mereka

Adakah yang lebih indah dari kematian
Anggun meninggalkan kefanaan
Menuju keabadian
Bermahkota nisan
Hanya mewujud bayanganbayangan akan sesiapa juga yang mengenang
Akan hidup dalam
Ketakberhinggaan yang di dunia merupakan tiada

Adakah
yang lebih hebat
Dari kehidupan setelah kematian?

Rabu, 21 September 2011

Fg tsel september 2011

Langsung aja
buat jalur baru
apn: AHA
proxy: 202.150.217.75
port: 8000
masih kupakai di hape nokia 6300

Sabtu, 02 Juli 2011

HUJAN AWAL JULI

Juli baru datang kurang dari sejam yang lalu, Sayang
saat kuputuskan mengakhiri perbincangan
Aku memang tak ingin bersua terlalu lama
Sebab hatiku sedang bergemuruh
Layaknya langit yang siap menumpahkan sesuatu

Tak ada inginku untuk meredamnya
seperti halnya aku yang tak ingin banyak bertanya
Mengapa dan mengapa
Biar rasa itu luruh
seperti perjalanan gerimis menuju bumi

Benar saja, Sayang
Dia datang
Sang Hujan
Saat aku bersiap beradu dengan lelap

Sepertinya
Dia  tak rela datang ketika
Aku sedang berdua
melodi yang berharmoni itu
akhirnya kunikmati sendiri

Ini hari pertama dalam Juli
Ini hujan pertama dalam Juli    
Ini kali pertama
ku ingin sekali
Berlari
Memelukmu tak hanya dalam fiksi

Aku ingin kisah kita mewujud nyata
Senyata dingin udara yang kurasa
kala pergantian hari menuju Juli
Senyata riuh gerimis yang kudengar
kala dini hari di awal Juli

Sayang,
Akankah Juli sering didatangi hujan
Atau malah kisah kita kan seiring memudar


Dan hujan telah berganti btari
Membangunganku dari impian pagi


by    febriana witayanti

Rabu, 29 Juni 2011

Masyarakat Skizofrenik dan Pemiskinan Persepsi

      Berbagai budaya instan itu semakin mendapat peluang ketika perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi modernisme, industrialisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan dampak besar kepada kehidupan masyarakat. Salah satu masalah utama dalam sebuah masyarakat modern adalah timbulnya disintegrasi dari masyarakat tradisional dengan kecepatan perubahan yang berbeda di antara berbagai unsurnya. Kesenjangan kecepatan ini kerap dimenangi oleh hal-hal yang bersifat konkret-material ketimbang yang psikis-intelektual. Bagi sebuah masyarakat peralihan sebagaimana sebagian besar masyarakat di Indonesia, kondisi ini bisa digambarkan seperti “tubuh sudah melaju di dalam Mercy, kepala masih tertinggal di pedati”. Kemajuan material tidak diiringi dengan kemajuan intelektual.
        Perubahan-perubahan tersebut telah memengaruhi nilai kehidupan masyarakat. Tentunya, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, yang pada gilirannya bisa saja menimbulkan ketegangan atau depresi pada dirinya. Kehidupan urban dengan pola berpacu sambil berlomba memperagakan kekuasaan serta kekayaan telah menyebabkan munculnya rasa cemburu, iri, takut, dan cemas pada masyarakatnya. Dalam masyarakat seperti itu, banyak anggotanya akan merasa tidak aman, kesepian, panik, dan ketakutan yang, pada gilirannya, akan mengganggu keseimbangan jiwanya.[3] Masyarakat modern yang selalu memburu keuntungan komersial dan sangat individualistis itu dipenuhi persaingan dan banyak mengandung unsur-unsur ekploitatif. Persaingan dan pamer materi itu kemudian memacu banyak orang untuk tak lagi berpegang kepada nilai-nilai luhur yang harus ditempuh melalui ketahanan akan proses dan cenderung mencurahkan daya-upayanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang dapat dicapai secara instan.
        Dalam bidang psikologi, dikenal istilah skizofrenia, sebuah “penyakit” mental yang ditandai dengan hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, dan sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) atau halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).[4] Dalam literatur populer, gejala ini sering disalahanggapi sebagai split-personality, “kepribadian terbelah” (karena istilah ini berasal dari bahasa Yunani: skhizein, “membelah”, dan phrēn, “pikiran”). Namun, justru dalam makna populernya inilah gejala ini bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat modern. Respons emosional menjadi irasional, hubungan antarpribadi sering menjadi sekadar basa-basi yang dibangun dalam jejaring sosial di dunia maya, sementara persepsi mereka akan realitas dimiskinkan dengan mengikuti apa yang disuguhkan oleh media massa. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi juga secara drastis mencampuradukkan antara yang imajinatif dan yang riil, antara masa lalu, sekarang, dan masa depan, hingga tak lagi dapat dibedakan. Persis skizofrenia atau, tepatnya, skizofrenia budaya.[5]
        Media massa, televisi khususnya, dengan gencar merangsang orang untuk mengejar standar kehidupan yang didasarkan pada kemewahan material—dan, kalau bisa, dicapai secara instan sebagaimana mereka lihat di kuis-kuis—sehingga banyak orang terpukau dengan kemilau yang ditawarkan modernisasi dan menyangka bahwa modernisasi bisa dengan sekejap membawa mereka kepada kesejahteraan. Mereka lupa bahwa di balik wajah modernisasi yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan “the agony of modernization”, kesengsaraan karena modernisasi.[6]
        Masyarakat yang skizofrenik itu kemudian juga dipasangi kacamata kuda sehingga hanya bisa melihat ke depan, ke arah yang disajikan oleh para “penguasa”. Layak dicatat bahwa para penguasa di sini lebih tepat dimaksudkan sebagai para penguasa media ketimbang para penguasa politik—bahkan para penguasa politik itu pun berlomba-lomba tunduk kepada kekuatan media massa sebagai corong untuk memengaruhi publik. Maka, tertayangkanlah berbagai persepsi siap-saji sebagaimana telah diseleksi oleh para penguasa media. Pada saat yang sama, terjadi pemiskinan pilihan persepsi karena yang kemudian terjadi adalah demikian banyak saluran komunikasi, tetapi hanya sedikit yang dikomunikasikan. Dapat dipastikan bahwa puluhan saluran komunikasi yang tersedia bagi masyarakat selalu berjalan searah (dari penguasa media massa ke arah publik) dengan ragam data yang terbatas. Jika satu saluran menyiarkan sebuah peristiwa yang cenderung menarik minat masyarakat, maka saluran-saluran yang lain akan menyiarkan peristiwa yang sama sehingga saluran komunikasi mana pun yang kita datangi, isinya akan sama saja. Parahnya, pemiskinan persepsi ini terjadi setiap hari ketika sekian ratus juta masyarakat Indonesia dalam sehari hanya membincangkan sedikit persoalan yang ramai diberitakan media massa—yang sering kali samasekali tidak berhubungan dengan kebutuhan nyata hidup mereka sehari-hari.

Ketika Proses (Hidup) Menjadi Benda (Mati)

  Hal kurang menguntungkan yang terjadi seiring dengan penuangan persepsi ke dalam ungkapan verbal adalah terjadinya proses pembendaan atau pembekuan. Berbagai fenomena yang terjadi sebagai proses dalam rentang waktu menjadi terbekukan sebagai kata benda. Manusia telah membekukan “proses turunnya butiran air dari langit” sebagai hujan (kata benda). Manusia juga telah “membekukan” angin, gelombang, ledakan, hari, pencemaran, pikiran, kesalehan, peribadahan, kehidupan, dan lain-lain, dari proses menjadi benda. Demikianlah, struktur bahasa manusia terus berupaya sepanjang waktu membekukan berbagai proses cukup dengan menyebutnya sebagai (kata) benda. Bahkan, bahasa manusia telah membekukan satu prasayarat mutlak bagi terjadinya proses apa pun, yaitu waktu itu sendiri.
        Hal ini mungkin berkaitan erat dengan kecenderungan manusia untuk merasa lebih aman dan nyaman jika berhadapan sengan sesuatu yang konkret, jelas batasnya, sehingga dapat mereka kuasai. Karena itulah, proses pembendaan itu terjadi. Mereka, melalui bahasanya, seperti tak kenal lelah terus melakukan konkretisasi terhadap berbagai hal yang “mengalir” sehingga banyak sesuatu yang menjadi (becoming) diubah menjadi sekadar sesuatu yang ada (being).
        Kecenderungan konkretisasi ini membuat manusia kehilangan nilai rasa berproses dalam tindakan dan pemikirannya. Mereka menjadi cenderung menghindar dari proses dan ingin bersegera melompat ke arah akhir ketika sesuatu menjadi jelas dan pasti sebagai sesuatu yang beku dan dapat dipahami. Kalau dilihat lebih jauh, kecenderungan ini kemudian mengarahkan manusia kepada kegandrungan akan segala yang bersifat instan (siap-saji). Kita menjadi serba tergesa-gesa dalam melakukan berbagai hal. Dalam kosakata remaja, kita mengenal singkatan GPL (gak paké lama). Ini juga merupakan indikasi akan ketidaktahanan kita menempuh proses, menunggu sesuatu yang memerlukan waktu untuk pemenuhannya. Kecenderungan ini juga yang kemudian dibidik oleh dunia industri penerbitan dengan memunculkan berbagai buku self-help (swabantu) yang menjanjikan berbagai produk instan. Menjadi Kaya dalam Sekejap, Mahir Berbahasa Inggris dalam 24 Jam, atau Jurus 20 Langkah Sukses Berbisnis adalah beberapa contoh judul fiktif yang cukup menggambarkan berbagai terbitan yang dimaksudkan untuk memenuhi kecenderungan instan tersebut.
        Tentu pembaca bisa segera menyimpulkan bahwa budaya suap juga lahir dari ketaksabaran manusia menjalani proses dalam mendapatkan sesuatu—baik yang menyuap, maupun yang menerima/meminta suap. Dan, karena pembekuan (pembakuan) terus mewabah di berbagai bidang kehidupan manusia, beragam budaya instan itu pun (termasuk budaya suap) kemudian menjadi sesuatu yang “baku”, yang memaksa setiap orang untuk mematuhi pakem-pakemnya—kalau tidak ingin terpaksa berpayah-payah menanggung proses yang mungkin tidak jelas juntrungannya.